Semangkuk Obrolan Hangat.
Malam menuntunku keluar mencari udara segar, entah mengapa malam itu gambaran wedang ronde dengan mochi kacang terlintas begitu saja dibenakku.
Tanpa pikir panjang, aku menuju jalan samping balaikota yang jaraknya tak terlalu jauh dari kos. Seingatku ada beberapa pedagang jajanan kaki lima yang berjejer disana. Tak hanya wedang ronde, ada juga bakso tusuk, bakpao tiga ribuan dan batagor.
Aku menepi dan parkir di samping salah satu gerobak ronde dengan spontan, gerobak itu berada diantara dua gerobak wedang ronde yang lain. Seorang bapak yang sudah agak sepuh berdiri dari duduknya dan siap menyambutku yang baru saja turun dari motor.
"Monggo mbak." Sapa beliau dengan senyuman.
"Nggih pak. Ronde nya satu ya pak, makan sini."
Beliau mengiyakan dan bergegas menyiapkan santapan hangat yang aku idamkan, lalu aku lekas memposisikan diri di atas karpet lesehan yang kosong. Tidak ada pelanggan lain, aku duduk sendirian.
Tak menunggu lama, pesananku datang.
"Monggo mbak." Kata beliau sambil meletakkan wedang ronde yang masih panas.
"Maturnuwun ya pak."
Aku mengaduknya dengan penuh khidmat, sembari sesekali melihat sekitar lalu memandang ponselku, bergantian.
Sambil menyantap wedang ronde, aku memerhatikan pak penjual itu. Beliau tak memegang ponsel atau apapun di tangannya. Hanya memerhatikan jalanan yang lengang, terkadang beranjak dari duduknya dan berjalan kaki di sekitar gerobaknya.
Aku sengaja memerlambat kunyahan agar bisa memerhatikan beliau lebih lama. Tak terasa beberapa saat kemudian jam menunjukkan pukul sepuluh malam.
"Pak e ndak punya ponsel po ya?"
"Di jam sekarang yang sudah lengang sambil menunggu pembeli, apa beliau ndak jenuh?"
Demikian pikiranku bertanya-tanya, karena aku melihat sekilas dua pedagang lain memegang ponsel sembari menunggu pelanggan.
Setelah kunyahan mochi kacang terakhir, aku mengambil jeda sejenak sampai 'mereka' turun ke lambung. Tidak sampai sepuluh menit, aku beranjak sambil membawa mangkuk kosongku.
Beliau menyambut mangkuk itu, lalu aku mengambil dompet.
"Delapan ribu nggih pak." Kataku memastikan nominal yang harus aku bayar, sebelumnya aku sudah bertanya saat memesan.
"Ini kembaliannya mbak."
"Nuwun ya pak." Tepat setelah kalimatku usai, beliau membuka obrolan.
"Mbaknya orang Jogja?"
Sejujurnya memang ada keinginan untuk ngobrol sebentar dengan beliau tapi aku segan, dan ternyata justru beliau yang membuka obrolan lebih dulu. Senangnya.
"Bukan pak, saya asli Pekalongan." Jawabku.
Lalu obrolan ringan kami berlanjut. Beliau bertanya apakah aku kuliah disini, bekerja dimana, sudah berapa lama disini dan masih banyak pertanyaan lainnya, aku pun balik bertanya beberapa hal tentang beliau.
Jarang sekali aku ngobrol dengan orang lain yang baru aku temui. Selain pekewo atau tak enak hati, aku bukan tipe orang yang suka mengajak ngobrol duluan.
Setelah obrolan itu kurasa cukup dan sebelum malam terlalu malam, aku pamit pulang. Bapak itu menahanku sebentar.
"Tak buatin 1 ronde ya mbak, buat dibawa pulang."
"Waduh ndak usah pak. Saya langsungan saja."
"Ndak papa mbak. Tunggu sebentar saja." Kata beliau dengan tersenyum dan bersemangat menyiapkan semangkuk lagi.
Di satu sisi aku merasa tak enak hati, tapi beliau terlihat senang sekali.
Setelah beberapa saat, sebungkus wedang ronde itu beliau berikan padaku. Aku berniat mengeluarkan dompet untuk membayar, tapi beliau menolak dan berkata :
"Ndak papa ini buat mbaknya. Gratis." Sambil tersenyum.
Aku menerimanya dan mengucapkan terima kasih. Tak cukup disitu, beliau pun mendoakanku :
"Semoga kerjanya lancar ya mbak. Lancar semua urusannya."
"Aamiin pak. Semoga laris nggih pak dagangannya. Nanti saya mampir lagi kapan-kapan." Jawabku sembari memegang buah tangan dari beliau.
Sambil agak meraih tanganku (mengajak bersalaman), beliau berterima kasih. Aku agak bingung menyambut tangannya, seharusnya aku menyalaminya, tapi aku tetap memegang kantong ronde itu dengan keheranan. Jika raut wajahku ter-capture, pasti mulutku yang mengaga itu terlihat seperti goa.
Setelah beberapa saat mematung, aku menuju motorku lalu menyalakannya. Sebelum menarik gas, aku menengok ke arah beliau sambil mengangguk. Di atas motor, aku masih membawa tanda tanya itu.
Bapaknya kok baik banget ya?
Rasanya bingung, tapi senang. Senang, tapi bingung. Ada rasa khawatir juga.
//
Selang beberapa waktu, aku menceritakan pengalaman itu pada temanku. Pun aku menyampaikan kebingungan yang aku rasakan. Lalu temanku bertanya :
“Sa, menurutmu kenapa bapaknya baik kaya gitu?”
“Gatau. Emang kenapa?”
“Bisa jadi kamu pelanggan pertamanya dari awal buka. Dan beliau bersyukur, sangat berterima kasih, bahkan ngasih kamu bingkisan buat dibawa pulang.”
Aku masih menyimak sambil mencerna, dia melanjutkan :
“Walau lagi kesusahan, beliau bisa berbuat baik sedemikian rupa, loh. Kita aja kadang belum tentu bisa.”
“Iya ya, bisa se-ringan itu berbagi ke orang lain, padahal beliau juga lagi butuh.” Kataku mengiyakan semua sudut pandangnya.
“Ohiya, bisa jadi beliau juga nyelipin harapan supaya kamu jadi pelanggannya dari peristiwa itu.”
Penjelasan yang singkat namun bisa membuka kesadaranku.
//
Semangkuk obrolan hangat malam itu sangat berkesan. Dimana orang yang baru kamu temui, bisa membawa pesan semesta kepadamu. Pesan, yang menghidupkan kemanusiaan yang lama tertidur.
Sekian, semoga hal-hal baik selalui menyertai kita semua. :)