Bagaimana kita bisa pulih jika kita tidak pernah pulang?
Pulang, atau mulih dalam bahasa jawa — menjadi hal yang terkadang harus disegerakan ketika kaki kita sudah melangkah jauh dari rumah, ketika jarak yang telah kita tempuh membuat semua hal yang kita lewati terasa jauh lebih berat dari hari-hari biasanya.
Pada dasarnya setiap manusia mempunyai tujuan dan akan mengupayakannya agar tercapai, sekalipun apa yang ia tuju berada di suatu tempat dengan jarak tempuh yang cukup lama dan melelahkan. Ia akan mulai menyusun rencana, lengkap dengan garis waktu yang sudah diukur sedemikian rupa, menyiapkan perlengkapan yang dirasa perlu satu demi satu, hingga mengemas hal-hal yang ia butuhkan menjelang keberangkatan.
Kemudian perjalanan dimulai.
Perasaan harap dan cemas bergantian mengisi ruang di hati. Saat dalam perjalanan, sesekali mengarahkan pandangan ke luar jendela kendaraan sembari memikirkan beberapa hal secara acak — tentang alasan-alasan, tentang hari kemarin dan hari esok, tentang obrolan di meja makan, dan tentang keyakinan pada perjalanan itu sendiri.
Pada saat menginjakkan kaki pertama kali ke tempat yang mulanya menjadi tujuan kita, rasa asing mulai medominasi, dan tak jarang kecemasan yang sudah dirasakan saat perjalanan mulai membesar. Namun, hanya ada dua pilihan :
menenangkan diri dan melanjutkan langkah, atau melangkah dengan rasa cemas.
Lambat laun, semakin banyak kita meninggalkan jejak langkah di banyak tempat, semakin banyak raut wajah yang kita temui, semakin jauh jarak tempuh, kita akan terbiasa. Perjalanan bukan lagi hal yang perlu dikhawatirkan, namun menjadi hal yang selalu dinanti.
Dari sekian banyak daftar tujuan, apakah pulang termasuk salah satu di antaranya?
Jika seseorang mengajukan pertanyaan ini padaku, maka aku akan menjawab :
“Ya, tentu aku perlu memasukannya ke daftar dan menyusun beberapa persiapan, seperti halnya aku mempersiapkan diri untuk melangkah pergi dari rumah saat pertama kali.”
Aku menyadari hal ini karena aku pernah luput, aku pernah merasa takut untuk kembali pulang. Sebelum pada akhirnya aku disadarkan oleh satu pesan dari Ibu kala itu. Kepulanganku sangat dinantikan, dan aku harus segera pulang.
“Merangkak dua, langkah kecil pertama, kini dia lari dan tergesa-gesa.”
Penggalan lirik milik Tulus dalam lagunya yang berjudul “Satu kali” ini menjadi salah satu pengingat yang betul-betul aku catat untuk selalu ingat rumah.
Bagaimana proses seorang bayi yang mulanya tidak bisa berjalan, menjadi manusia yang beranjak dewasa dengan langkahnya yang hampir selalu tergesa-gesa. Proses ini tidak luput dari peran orang tua kita, yang pada akhirnya harus rela ketika anak-anaknya meninggalkan rumah satu demi satu untuk menjemput takdirnya masing-masing.
Mengutip perkataan Joko Pinurbo pada salah satu rangkaian acara Festival Sastra Yogyakarta :
“Orang yang tidak pernah mulih, tidak akan bisa memulihkan diri.”
Mulih (pulang) erat kaitannya dengan pulih,
memulihkan diri dari luka atas ekspektasi yang tidak berhasil diraih,
memulihkan diri dari rasa lelah yang rasanya tak berujung,
memulihkan diri dari arogansi dan ketamakan untuk kembali merunduk dan melapangkan hati,
memulihkan diri dari segala luput dan mengingat kembali tujuan awal kita.
Akhir kata, sejauh manapun dan sesibuk apapun dirimu, sempatkan waktu untuk pulang.
:)