menangisi akhir pekan

dhia asa
3 min readNov 11, 2024

--

hujan datang dan pergi di teras rumah sejak pagi. kurapatkan selimut hingga dingin tak lagi menusuk tulang, rasanya tak ingin beranjak dari tempat tidur. jangan tanya apakah aku sudah cuci muka, karena tentu aku menghindari air agar tak semakin menggigil dibuatnya.

mataku terpejam-terbuka sembari mengecek ponsel berkali-kali, berharap ada satu kabar yang bisa membuatku beranjak keluar dari kamar, untuk sejenak menghabiskan waktu liburku yang hanya satu kali dalam satu minggu ini. tapi nihil. tak ada satupun kabar yang datang, hanya ada notifikasi aplikasi yang terlalu sering berbunyi.

setelah jam dua siang, hujan mereda. aku memasak sebungkus mie instan sebagai teman menonton film bergenre science fiction yang ada di watchlistku sejak berminggu-minggu lalu.

siapa yang tak sepakat, kalau mie instan (terutama yang berkuah) dan hujan adalah kombinasi terbaik yang pernah manusia temukan? tidak ada, kan? ah, bisa jadi kamu punya argumen bahwa ada hal lain yang jika dikombinasikan dengan hujan, hasilnya akan lebih dahsyat ketimbang menyandingkan hujan dengan mie instan. tak apa, kita pasti punya perbedaan dalam menyikapi dan merespon suatu hal.

tak jadi masalah, tenang saja.

malam datang juga, satu notifikasi yang aku nanti akhirnya muncul. seorang teman mengirim lokasi kedai kopi untuk menghabiskan sisa akhir pekan yang tinggal beberapa jam ini. tanpa pikir panjang, aku segera bersiap dan melajukan sepeda motor, sebelum hujan kembali meluncur dari langit.

sepanjang jalan, kutemui aspal yang masih basah, sebab hujan yang merata, belum lama reda. di beberapa titik, air masih menggenang.

tidak tidak, aku tak mau menjadikan hujan sebagai bahan romantisasi kota ini. aku sudah cukup muak mendengar romantisasi yang orang-orang dengungkan. karena sebagaimana mestinya, sebuah kota pasti punya daya tarik dan sisi gelapnya masing-masing, dan tak semua orang dapat melihat keduanya secara jeli. aku terlalu jauh, ya? oke, maaf. mari kita lanjutkan.

aku sampai lebih dulu. kedai ini tak seramai akhir pekan biasanya, meski masih terbilang cukup ramai pengunjung.

tak lama, tiga temanku datang dan obrolan dengan cepat mencair di atas meja, saat masing-masing kami bertukar cerita, sesekali sambat juga. satu gelas kopi lebih dulu tandas sebelum pukul dua belas. angin sempat berhembus kencang, hujan lagi-lagi datang terburu-buru dan kembali mengguyur akhir pekan yang baru saja usai ini.

hari berganti, masih ada satu kabar yang aku tunggu. sayangnya sampai saat ini, masih centang satu. mungkin ia tidur karena kelelahan.

sebelum semakin larut dan hujan kembali datang, kami memutuskan untuk pulang. ini hampir pukul dua pagi. jalanan dipenuhi kabut tipis selepas hujan pergi. dingin tak mau mengalah, meski aku sudah mengenakan jaket cukup tebal, tetapi tidak cukup mencegahku gigiku bergemelatuk sebab tak kuat menahan dingin.

sesampainya di rumah, mataku masih terbuka lebar. kantuk belum terasa sama-sekali. ritual menjelang tidur sudah kulakukan, tinggal mengeratkan selimut lalu terpejam. tapi gagal.

aku kembali menyalakan laptop dan memutar lagu dari playlist acak, membuka arsip foto lama, berharap menemukan beberapa foto menarik untuk aku olah jadi sesuatu yang baru.

satu demi satu folder kutelusuri, hingga sampai pada folder yang entah kapan terakhir kali aku membukanya. folder itu berisi foto-foto di hutan pinus yang pernah kusinggahi bersama seseorang, juga fotoku bersama orang itu. semua terasa biasa saja, hingga salah satu lagu The Sigit yang berjudul “Owl and Wolf” terputar secara otomatis.

Nicole from Pinterest
https://id.pinterest.com/pin/7043748299931
7/

“Our eyes illuminate in high and low, i set the fire on the black hole’s gates, to keep us holding on, until the day light breaks..”

baru pertama aku mendengarkan lagu itu dengan seksama. meski tak mengetahui liriknya secara pasti, namun dalam irama lagu dan iringan gitar akustik yang dihantarkan dengan manis oleh sang vokalis, seperti mencoba membuka kotak ingatan — tempat di mana memori tersimpan rapi, sebelum akhirnya kedua mataku berembun dan menggulirkan satu-dua tetes air mata tanpa sengaja.

bangsat. kenapa jadi kaya gini?!

jangan salah sangka dulu. aku pernah membaca sebuah tulisan yang bunyinya :

“..kadang kita cuma kangen sama kenangannya, sama peristiwanya, bukan orangnya.”

dan aku mengamininya. kotak ingatan berisi memori baik yang tak sengaja terbuka itu, mengantarkanku pada rasa syukur. rupanya hidup masih mampu dan mau berjalan dengan segala keteraturan yang tuhan ciptakan untuk masing-masing manusia. meski jalan yang ditempuh sudah berbeda, namun kebaikannya tetap sama. aku percaya, tidak ada sesuatu yang luput dari kita tanpa meninggalkan suatu pelajaran — yang darinya kita bisa belajar untuk jadi manusia yang lebih baik lagi.

*judul tulisan ini menyadur lagu dengan judul yang sama milik FSTVLST

--

--

dhia asa
dhia asa

Written by dhia asa

kadang nulis puisi, kadang sharing soal facebook ads, dan hal-hal kecil yang harus dikeluarin dari kepala.

No responses yet