lelap yang jatuh di pundakmu

dhia asa
3 min readNov 10, 2023

--

akan kau beri nama apa peristiwa yang tidak pernah kita nantikan ini?

yang bahkan tidak sekalipun terlintas di benak kita. ia hadir begitu saja, secara tiba-tiba.

kau tak sengaja menemukanku. duduk di bangku taman, sedang menatap ke arah manapun tanpa benar-benar mengerti dan mengenali segala benda - segala rupa yang tertangkap mata.

kosong.

mendung memayungi sebagian kota, nampaknya akan lebih dramatis bila sore ini hujan turun sejadi-jadinya. aku akan basah kuyub, dan kau — alih-alih berteduh dan membuka payung dari dalam tasmu, justru menghampiriku, duduk dan diam membiarkan tubuhmu dipeluk hujan. tak peduli bagaimana kau bisa pulang tanpa menggigil sepanjang jalan.

tapi langit berbaik hati. ditampungnya hujan dalam tubuhnya yang biru, sementara sore mengantarkanmu menemukanku di taman ini.

“hai.”

aku masih diam memandangi apa yang ada di hadapanku saat kau duduk tepat di samping kananku.

“..kita pernah bertemu. kau mungkin lupa, tapi tak apa. aku hanya ingin duduk di sampingmu. bolehkah?”

aku mengangguk tanda setuju. kau benar, aku tak mengingatmu, kapan dan di mana waktu mempertemukan kita sebelumnya.

melihatku tak banyak bicara, kau berhenti bertanya.

“aku baru saja berkeliling, memanfaatkan hari libur dengan baik sebelum kembali bekerja besok. aku ingin bertanya kepadamu, tapi mungkin sebaiknya aku bercerita saja. tak apa jika kau tak ingin mendengarkanku, anggap saja ocehanku ini angin lalu.”

diam-diam aku mendengarkan seluruh ceritamu; mulai dari pagimu yang mengejutkan karena ada tikus tiba-tiba muncul dari jendela kamarmu yang lupa kau tutup semalaman, padatnya stasiun manggarai meski akhir pekan yang membuatmu gagal menikmati bacaan minggu pagi dengan tenang, makan siang yang terlambat karena kedai langgananmu kedatangan rombongan dan membuatmu harus menunggu lebih lama dari biasanya, serta usaha merenggangkan sesak yang ada di kepalamu dengan berjalan dan mengamati pohon-pohon, hingga menangkap sosok perempuan yang mungkin terlihat menyedihkan dengan baju warna putih dan make-up yang memudar.

ini mungkin akan terdengar klise, tapi aku menyukai sore ini lebih dari sore-sore sebelumnya yang aku lewati. tidak ada jingga atau semilir angin yang membuat rambut beterbangan, duduk bersama seseorang memandangi apapun yang ada di sekitar dengan sedikit percakapan.

“aku mendengarkan. kau tahu, di antara banyak pilihan tempat untuk merenungi hidup, kenapa aku justru ke taman yang cukup ramai ini?”

“kenapa?”

“mataku senang menangkap pergerakan benda, seperti daun jatuh atau apapun itu, juga manusia-manusia lain dengan kesibukannya masing-masing. dan di taman ini aku dapat melihat banyak hal mencair begitu saja, alami.”

aku melanjutkan

“kau tahu kan, taman ini adalah taman terluas yang ada di kota. belum lagi pemandangan langit sore di sini yang menjadi favorit banyak orang. ini membuat renunganku tak terbatas pada diriku saja, membuatnya jadi lebih luas agar aku pulang dalam kondisi kepala dan dada yang lebih ringan.”

kau tersenyum ke arahku,

“ya, aku sepakat denganmu. walaupun sore ini mendung, setidaknya di sini masih banyak hal lain yang dapat kita curi dan kita bawa pulang.”

lampu-lampu mulai menyala. gelap perlahan datang, angin berlari kecil menyapu awan — menjadikan langit lebih jernih.

ingatan tentangmu muncul. satu tahun berlalu dan kau masih mengenaliku. sebaliknya, aku seorang pelupa yang bahkan payah soal menghafal nama usai berkenalan.

“masih suka minum kopi?” tanyamu memecah hening yang panjang.

“ya, masih.”

“di seberang monumen, ada kedai kopi kecil. mungkin sedikit kafein bisa menutup renungan dan pertemuan tidak sengaja ini.”

“baiklah. ayo.”

kau sepertinya tak hanya akrab dengan kopi, tetapi juga biji kopi yang kau kunyah begitu saja sebelum memesan kopi yang kau inginkan. satu v60 dan satu cappucino tak perlu waktu lama tersaji di hadapan kita.

kembali duduk bersampingan di bahu jalan dengan karpet tipis yang disediakan.

percakapan hadir untuk kedua kalinya dengan perkenalan ulang yang singkat, kali ini aku lebih leluasa dan kau bisa sedikit tertawa.

“ra, kepalaku agak sakit. boleh aku nyender sebentar di bahu kamu?”

“sini, gapapa.” kau menggeser posisi dudukmu lebih dekat denganku, membantuku dengan tangan kananmu.

sepertinya asam lambungku naik, dan aku harus menanggung sakit kepala karena ini.

“terima kasih.”

aku lelap di pundakmu tak lama setelah kepalaku bersandar di sana.

jarum jam di tanganku terus berotasi, detik berdetak lebih lamban dari biasanya.

source instagram aykutmaykut

mimpi menyambutku terlalu cepat.

--

--

dhia asa
dhia asa

Written by dhia asa

kadang nulis puisi, kadang sharing soal facebook ads, dan hal-hal kecil yang harus dikeluarin dari kepala.

No responses yet