Aku memejamkan mata, berhitung dari satu sampai sepuluh, lalu membuka mata.
Nihil.
Aku mengulanginya lagi, kali ini lebih tenang sembari mengambil nafas panjang pada tiap hitungannya.
Satu…
Dua…
Tiga…
Empat…
…
Aku kembali emmbuka mata. Hasilnya sama, nihil.
Keseimbanganku mulai rapuh, pandangan mataku kabur, hampir semuanya memutih. Aku jatuh terduduk, tertunduk. Air mataku jatuh perlahan, mengalir ke pipi kemudian sedikit membasahi rambutku yang tergerai.
Pernahkah kalian merasakan kehilangan? Kapan terakhir kali kalian merasakannya? Ah, sebenarnya aku tak peduli jawaban apapun yang kalian lontarkan.
Hitungan yang berulang kali aku lakukan semacam mantra, yang harapanku terletak padanya. Harapanku, bahwa ketika aku selesai menghitung lalu membuka mata, dia akan berdiri tepat didepanku.
Atau ini hanyalah mimpi, yang ketika aku selesai menghitung dan membuka mata, aku akan terbangun dan menemukan dia tepat disebelahku, dengan mata terpejam atau terjaga. Namun usahaku gagal, aku tak tahu dengan cara apa lagi supaya aku dapat membuatnya kembali ke sisiku.
Orang-orang yang berlalu lalang menatapku dengan tatapan yang berbeda-beda. Entahlah, aku tak terlalu peduli dengan tatapan aneh mereka. Sudah kali ke tiga aku kemari dan melakukan ritual yang sama, menghitung. Hari ini sudah sekitar tiga jam aku berada disini, merenung, menghitung, lalu merenung lagi. Terkadang aku menatap ke arah laut. Terkadang menunduk menangis, menatap ke arah kaki yang memijak pasir.
“Nirwana.” Seseorang menepuk pundakku.
Aku hanya menatapnya.
“Bersabarlah, tim sar sedang berusaha mencari suami mu.”
“Biarkan aku disini sendiri Din, sebentar saja. Setelah itu aku akan pulang.”
“Baiklah. Aku akan menunggumu.”
Aku melempar senyum padanya, senyum yang sedikit ku paksakan.
.
Langit mulai gelap, tempat ini perlahan sepi, aku memutuskan untuk pulang. Tapi bukan ke rumah, karena ‘rumah’ ku telah pergi, ia belum kembali. Ku hampiri Dini yang berdiri disamping sepeda motor miliknya, dia segera menyalakan mesin, lalu kami bergegas menjauh dari tempat ini.
.
Pernahkah kalian menyesal? Ah, tapi sudahlah, tak perlu dijawab. Aku sama sekali tak peduli.
Aku menyesal. Ini penyesalah terbsesarku. Rasa sesal bercampur kekosongan, rasanya seperti ada lubang yang amat besar di dadaku. Rasanya seperti angin bisa berhembus melewatinya.
Seharusnya aku tidak memaksa pergi ke pantai kala itu. Seharusnya aku tetap dirumah dan menonton serial TV kesukaanku.
Seharusnya…